Kabur sesaat dari rutinitas

Standard

Kemarin itu, kalau tidak salah di hari selasa, kami kabur dari rutinitas dan berpetualang memburu pameran-pameran di seputar Jakarta Pusat. Cuaca panas, dan sedikit macet. Kami berangkat ketika pagi sudah sedikit berjalan menuju siang.

Tiba di pemberhentian pertama, Museum Nasional alis Museum Gajah. Ketika matahari hampir tinggi-tingginya, dan tukang es woody berjualan di pelataran lobi museum, dan kami harus masuk sehingga pupus harapan saya untuk memakan es krim jadul itu. Pamerannya bertajuk Sensitive Buildings, yang diterjemahkan menjadi Bangunan Peka, merupakan semacam tanggapan terhadap kondisi lingkungan di beberapa lokasi di Indonesia. Ada sekitar 7 karya besar yang dipamerkan. Bagi yang berminat datang, sayang sekali pamerannya berakhir di tanggal 20 lalu.

Dari sana kami selesai tepat di jam makan siang, dan kami memutuskan bergulat di Ragusa saja karena lumayan dekat (walau sepertinya akan ramai sekali di jam makan siang). Satenya enak, gado-gadonya biasa walau bumbunya halus sekali (mungkin karena saya tidak suka pedas dan kacang menimbulkan dampak buruk untuk saya), dan asinannya luar biasa. Ditemani dengan es krim khasnya, Ragusa masih merupakan tempat yang layak dikunjungi di kala senggang.

Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju galeri Nasional untuk menghadiri pameran seni kontemporer bertajuk Ekspansi yang melibatkan jajaran seniman ternama Indonesia. Supaya tidak bingung, cukup parkirkan mobil anda dimana saja dan masukilah semua galeri a, b, dan c karena pamerannya dilaksanakan di semua galeri tersebut. Pamerannya cukup unik, dan cukup mengena sebab beberapa karya berhasil membuat saya merinding dan beberapa lainnya bahkan bisa membuat saya seram berada disana sendirian. Sebagian ruangannya gelap sehingga sedikit menyusahkan kita untuk melihat karyanya (apa itu sengaja?) dan sebagian ruangannya tidak diberkati dengan AC. Yang jelas, penjelasan karya yang biasa diletakkan di sebelah karya atau didekatnya sangat kecil dan dicetak diatas kertas yang berwarna sama dengan bidang yang ditempel, yaitu dinding putih, dan hanya berisi nama seniman, judul karya, dan material pembuatan. Anda harus mereka-reka sendiri apa maksud karyanya dan apa hubungannya dengan tajuk Ekspansi itu sendiri.

Lokasi terakhir adalah di gedung Erasmus Huis, yaitu pameran bertajuk kehidupan Wolff Schoemaker yang adalah salah satu arsitek keturunan Belanda yang mengabdikan hidupnya untuk membuat bangunan di Indonesia, terutama di Bandung. Mencari lokasi gedung ini menghabiskan waktu 4 kali lipat lebih lama dari keberadaan kami disana.

Pesan moral untuk hari ini adalah, sekarang saya tahu posisi Kebudayaan Hongaria, Swiss, India, Malaysia, Rusia, dan Australia sebelum akhirnya menemukan sebuah Erasmus Huis.

Pesan moral lainnya adalah, saya benci jauh dari kamera disaat seperti ini.

2 responses »

  1. knapa km ga tetap dekat dengan kamera van? walau mengajar di *** kan tetap bisa sisakan waktu untuk berutinitas dengan kamera :D

  2. wahhh tau darimana soal tempat kerjanya? i didnt mention it, did i? *langsung ngecek diatas* oh, itu jauh maksudnya emang lagi gak bawa, maklum acara dadakan :D

Leave a comment